Translate

YOUNG MASTER
BERBAGI ILMU UNTUK SEMUA

Selasa, 10 April 2012

Perpajakan "Keberatan dan Banding atas SKP Pajak"



Bagaimana Mempersiapkan Keberatan dan Banding
A. Mempersiapkan Keberatan
1. Pendahuluan
Dalam menghadapi sengketa pajak, wajib pajak memiliki hak untuk :
a) Mengajukan Keberatan (Pasal 25 – 26 UU KUP)
Jika Wajib Pajak berpendapat bahwa jumlah, rugi, jumlah pajak, dan pemotongan atau pemungutan tidak sebagaimana mestinya, maka Wajib pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada Direktur Jenderal Pajak.
b) Mengajukan Permohonan Pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi berupa bunga, denda dan kenaikan (Pasal 36 ayat 1a)
Direktur Jenderal Pajak dapat mengurangkan atau menghapuskan sanksi administrasi berupa bunga, denda dan kenaikan yang terutang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dalam hal sanksi tersebut dikenakan karena kekhilafan Wajib Pajak atau bukan karena kesalahannya
c) Mengajukan permohonan pembatalan ketetapan pajak yang tidak benar (pasal 36 ayat 1b)
Direktur Jenderal Pajak dapat mengurangkan atau membatalkan ketetapan pajak yang tidak benar.
d) Mengajukan Gugatan ke Pengadilan Pajak
Gugatan Wajib Pajak atau Penanggung Pajak terhadap :
· Pelaksanaan Surat Paksa, Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan, atau Pengumuman Lelang
· Keputusan yang berkaitan dengan pelaksanaan keputusan perpajakan, selain yang ditetapkan dalam pasal 25 ayat (1) dan pasal 26 KUP
· Keputusan Pembetulan dalam pasal 16 yang berkaitan dengan Surat Tagihan Pajak.
· Keputusan sebagaimana dimaksud dalam pasal 36 yang berkaitan Surat Tagihan Pajak.
Gugatan hanya dapat diajukan ke Pengadilan Pajak.
Pengajuan Keberatan
Keberatan diajukan atas suatu :
· SKPKB
· SKPKBT
· SKPLB
· SKPN
· Pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan
Syarat pengajuan Keberatan :
· Diajukan kepada Direktur Jenderal Pajak atas SKPKB, SKPKBT, SKPLB, SKPN, Pemotongan dan Pemungutan oleh Pihak ketiga;
· Surat Keberatan diajukan terhadap satu jenis ketetapan pajak. (Satu SKP satu surat keberatan)
· Diajukan secara tertulis dalam Bahasa Indonesia
· Mengemukakan jumlah pajak terutang atau jumlah pajak yang dipotong atau dipungut, atau jumlah rugi menurut perhitungan Wajib Pajak.
· Disertai dengan alasan-alasan yang jelas.
· Diajukan dalam jangka waktu 3 Bulan sejak tanggal surat ketetapan pajak, tanggal pemotongan atau pemungutan, kecuali terjadi keadaan diluar kekuasaan wajib pajak (Force Majeur)
· Pengajuan Keberatan tidak menunda kewajiban membayar pajak dan proses pelaksanaan penagihan.
Hak Wajib Pajak dalam Keberatan:
Agar Wajib Pajak dapat membuat alasan-alasan yang kuat dalam pengajuan keberatan, sebelum mengajukan keberatan wajib pajak berhak untuk :
· Meminta Dasar Pengenaan Pajak
· Meminta Dasar Perhitungan Rugi
· Meminta Dasar Pemotongan dan Pemungutan.
Pengajuan Surat Keberatan :
Surat keberatan dapat disampaikan dengan cara :
· Secara Langsung ke KPP tempat WP terdaftar
Tanggal surat keberatan diterima adalah tanggal saat surat diterima di Tempat Pelayanan Terpadu KPP. Wajib pajak akan menerima bukti penerimaan Surat keberatan. –Surat Keberatan diterima secara Phisik oleh petugas DJP-
· Disampaikan melalui kantor pos dan giro dengan pengiriman pos tercatat. Bukti pengiriman melalui pos (Resi) merupakan tanda bukti penerimaan surat keberatan. Pengertian pos tercatat adalah tertulis dalam bukti pengiriman surat hal-hal sebagai berikut :
o Tanggal kirim
o Nama dan alamat pengirim
o Nama dan alamat yang dituju
o Isi atau jenis surat yang dikirim








Pengajuan Keberatan diajukan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak (KPP) di tempat Wajib Pajak terdaftar dengan syarat-syarat mengajukan keberatan:

1. Satu Keberatan harus diajukan untuk satu jenis dan satu tahun/masa pajak;
2. Diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia;
3. Wajib menyatakan alasan-alasan secara jelas;
4. Wajib menyebutkan jumlah pajak yang terutang menurut penghitungan Wajib Pajak.
Satu surat untuk satu skp. Jika hasil pemeriksaan ada lima skp, misalnya : SKPKB PPh Badan, SKPKB PPh Pasal 21, SKPKB PPh Pasal 23, SKPKB PPh Pasal 4(2), dan SKPKB PPN, maka surat keberatan harus dibuat lima buah. Tidak boleh satu surat untuk keberatan PPh Pasal 21 dan PPh Pasal 23, misalnya.

Berdasarkan Pasal 25 ayat (3) UU KUP, “Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal surat, tanggal pemotongan atau pemungutan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), kecuali apabila Wajib Pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu itu tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaannya.”

Jangka waktu pengajuan keberatan:

1. Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu 3 bulan sejak tanggal SKPKB, SKPKBT, SKPLB, SKPN atau sejak tanggal dilakukan pemotongan/pemungutan, kecuali Wajib Pajak dapat menunjukkan jangka waktu tersebut tidak dapat dipenuhi karena di luar kekuasaannya
2. Surat keberatan yang diantar langsung ke Kantor Pelayanan Pajak, maka jangka waktu 3 bulan dihitung sejak tanggal SKPKB, SKPKBT, SKPLB, SKPN atau sejak dilakukan pemotongan/pemungutan oleh pihak ketiga sampai saat keberatan diterima oleh Kantor Pelayanan Pajak.
3. Surat keberatan yang dikirim melalui pos (harus dengan pos tercatat), maka jangka waktu 3 bulan dihitung sejak tanggal SKPKB, SKPKBT, SKPLB, SKPN atau sejak dilakukan pemotongan/pemungutan oleh pihak ketiga sampai dengan tanggal bukti pengiriman melalui Kantor Pos dan Giro.

Jika lewat tiga bulan, surat keberatan tidak dianggap karena tidak memenuhi syarat formal. Ini perintah UU KUP! Tetapi UU KUP juga membolehkan jangka waktu lebih dari tiga bulan jika “dalam keadaan diluar kekuasaannya.” Inilah klausul yang sering dimanfaatkan oleh Wajib Pajak

Pengajuan Keberatan tidak menunda kewajiban membayar pajak dan pelaksanaan penagihan pajak.

Perekonomian Indonesia "peran perekonomian daerah dalam perekonomian indonesia"


Makalah Perekonomian Indonesia
“ Peran Otonomi Daerah dalam Perekonomian Indonesia”

Disusun oleh:
Lestari Purwoningsih (10.05.52.0011)
Afifatul Jannah (10.05.52.0029)
Febria Anas S (10.05.52.0032)
Nur Setiawan (10.05.52.0039)
Kartika Septiana (10.05.52.0049)

UNIVERSITAS STIKUBANK SEMARANG



KATA PENGANTAR

            Assalamu’alaikum Wr. Wb.
            Puji dan syukur kami ucapkan kepada Allah SWT, karena berkat rahmat dan keridloan-Nya makalah ini dapat terselesaikan. Terimakasih kami ucapkan kepada dosen pembimbing untuk mata kuliah perekonomian Indonesia, bapak Y. Sutomo. Dimana selama ini telah banyak memberi arahan dan bimbingan kepada kami. Tidak lupa kami mengucapkan terimakasih pula pada pihak-pihak lain yang karya tulisnya kami jadikan referensi dalam proses pembuatan makalah ini.
            Dalam makalah ini kami membahas persoalan mengenai bagaimana peran otonomi daerah dalam perekonomian Indonesia serta apa dampak positif dan dampak negatif yang timbul dari pelaksanaan kebijakan oonomi daerah.
            Akhir kata, tiada gading yang tak retak. Sama halnya dengan makalah ini yang masih jauh dari kata sempurna. Untuk itu kami menerima dengan sepenuh hati saran maupun kritik yang konstruktif dari pembaca agar kedepannya kami dapat memperbaiki dan membuat makalah lain yang lebih baik.
            Wassalamu’alaikum Wr. Wb.







Semarang, 5 April 2012


Penulis



DAFTAR ISI

Kata Pengantar ..................................................................................................................  2
Daftar Isi ............................................................................................................................  3
Bab 1 Pendahuluan ............................................................................................................  4
Latar Belakang Masalah ....................................................................................................  4
Permasalahan .....................................................................................................................  5
Tujuan ................................................................................................................................  5
Bab II Landasan Teori .......................................................................................................  6
Bab III Pembahasan ..........................................................................................................  7
Bab IV Penutup ................................................................................................................. 12
Kesimpulan ......................................................................................................................... 12
Saran ................................................................................................................................... 12
Daftar Pustaka .................................................................................................................... 13

















BAB I
PENDAHULUAN

1.                  Latar Belakang Masalah
Salah satu rahmat yang patut disyukuri dari kemerdekaan bangsa Indonesia adalah tetap tegaknya kesatuan bangsa dalam kemajemukan dan kebhinnekaan. Kemerdekaan tidak hanya diisi dengan semboyan-semboyan persatuan, melainkan telah pula diwujudkan dengan kemajuan fisik. Tampak pula bahwa kian muncul kesadaran yang meluas bahwa daerah harus lebih diberdayakan dengan memberikan peluang dan keleluasaan untuk menata dirinya sendiri.  Kesadaran tersebut juga tercermin dari tekad pemerintah untuk mempercepat pembangunan di Kawasan Timur Indonesia (KTI).
Ketika otonomi daerah dicanangkan oleh pemerintah pusat tanggal 1 januari 2001, banyak yang mempertanyakan apakah otomatis akan terjadi perubahan paradigma yang mendasar dan bersifat struktural. Pasalnya, “lagu “ yang berkumandang diseluruh profinsi kabupaten dan kota di Indonesia adalah sentralisasi yang dominan dalam perencanaan maupun implementasi pembangunan Indonesia (Kuncoro, 1995). Sentralisasi birokrasi maupun konsentrasi geografis aktivitas bisnis kearah pusat kekuasaan dan modal menjadi keniscayaan. Tak pelak, pembangunanpun bias ke kawasan barat iIndonesia, khususnya jawa dan daerah metropolitan.
Salah satu fenomena paling mencolok dari hubungan antara sistem pemda dengan pembangunan adalah ketergantungan pemda yang tinggi terhadap pemerintah pusat. Pembangunan di daerah terutama fisik memang cukup pesat, tetapi tingkat ketergantungan fiskal antara daerah terhadap pusat sebagai akibat dari pembangunan juga semakin besar. Ketergantungan fiskal terlihat dari relatif rendahnya Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan dominannya transfer dari pusat.
Otonomi daerah sekarang bukan hanya sekedar tuntutan politis, tetapi sudah menjadi tuntutan zaman yang tidak terelakkan. Pada akhirnya, keberhasilan pembangunan memang akan lebih bermakna jika bisa dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat di tanah air.

2.        Permasalahan
Adapun rumusan masalah yang ingin dijadikan sebagai pembahasan dalam makalah ini adalah :
1.    Bagaimana peran otonomi daerah dalam perekonomian Indonesia?
2.    Apakah dampak positif dan negatif dari pelaksanaan otonomi daerah?


3.        Tujuan
Tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1.      Untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah Perekonomian Indonesia
2.      Untuk mengetahui peranan otonomi daerah di dalam perekonomian Indonesia
3.      Untuk mengetahui penerapan otonomi daerah, dampak positif serta negatifnya.

















BAB II
LANDASAN TEORI

Dalam mendukung penjabaran pada judul makalah ini, maka makalah ini diperkuat oleh landasan teori sebagai berikut:
1.        Otonomi daerah menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)
Menurut KBBI, yang dimaksud dengan otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2.        Hakikat Otonomi
Hakikat otonomi adalah mengembangkan manusia-manusia Indonesia yang otonom, yang memberikan keleluasaan bagi terkuaknya potensi-potensi terbaik yang dimiliki setiap individu secara optimal. Oleh karena itu, penguatan otonomi daerah harus membuka kesempatan yang sama dan seluas-luasnya bagi setiap pelaku dalam rambu-rambu yang disepakati bersama sebagai jaminan terselenggaranya social order.
3.        Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah(UU Nomor 32 Tahun 2004)
Definisi otonomi daerah sebagai berikut: “Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.”









BAB III
PEMBAHASAN
Pesatnya pembangunan  selama seperempat abad terakhir—sebelum terjadinya krisis—ternyata, justru masih saja meningkatkan dominasi pusat-pusat pertumbuhan yang telah ada selama ini, terutama Jakarta dan sekitarnya. Kira-kira dua pertiga kue nasional dinikmati oleh Jawa dan lebih dari empat perlima bertengger di Kawasan Barat Indonesia. Jika dengan memakai indikator yang peling kasar saja yaitu—PDRB—kondisi ketimpangan ini sudah demikian parah, tentu akan lebih timpang lagi jika menggunakan indikator kesejahteraan.

1.        Ancaman Bermula dari Kesenjangan Antardaerah
Salah satu tantangan pembangunan yang harus diwaspadai adalah persoalan kesejangan ini. Khususnya kesenjangan antar daerah yang mau tidak mau berkaitan dengan 2 jenis ketimpangan lainnya. Di tengah arus globalisasi—yang membuat batas-batas negara kian tipis, mobilitas faktor produksi semakin tinggi, arus informai tidak terbendung, dan kesadaran akan nilai universal kian tak terelakkan—justru masih dijumpai berbagai praktik yang menempatkan daerah-daerah sebagai suatu unit, setidaknya unit ekonomi, yang terpisahkan satu sama lain.
Dalam beberapa tahun terakhir, memang ada kecenderungan pertumbuhan PDRB Kawasan Timur Indonesia sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan Jawa dan KBI. Namun, tampaknya masih terlalu dini untuk mengatakan bahwa ketimpangan antar daerah membaik. Sebab, PDRB hanya mengindikasikan perkembangan penduduk atau output di suatu daerah dan menafikan nilai tambah (add value) yang dihasilkan dari proses produksi tersebut yang dinikmati oleh pemilik faktor-faktor produksi yang berada di luar daerah yang bersangkutan.
Bagi indonesia, bentuk negara kesatuan merupakan amanat konstitusi. Semangat kesatuan dan persatuan melekat kental pada bangsa Indonesia. Semangat ini pula yang meladasi pelaksanaan pemerintahan di daerah sesuai Undang-Undang No. 5/1974 yang menggariskan tiga asas penyelanggaraan pemerintah di daerah yakni desentralisasi, dekonsentrasi, dan pembantuan.

2.        Trend Desentralisasi
Salah satu pilar yang harus ditegakkan dalam mengembangkan otonomi daerah yang lebih nyata adalah aspek pembiayaan. Tanpa keseimbangan pemberian otonomi antara tugas dan tanggung jawab dengan aspek pendanaanya, maka esensi otonomi menjadi kabur.
Di sinilah salah satu masalah utama dari pemberdayaan daerah dalam upaya pemerataan pembangunan. Profil hubungan keuangan pusat-daerah hingga kini menujukan cengkeraman pemeritah pusat yang teramat kuat atas pemeritah daerah. Tanpa adanya perubahan yang cukup mendasar dalam pola hubungan keuangan pusat-daerah, agak sulit mebayangkan terjadinya perbaikan ketimpangan pembagunan antardaerah.
Meskipun disadari masih terbuka peluang yang cukup besar dalam meningkatkan pendapatan asli daerah, namun tampaknya untuk mengakselerasikan proses pembangunan di daerah mutlak memerlukan pengaturan kembali dalam hubungan keuangan pusat-daerah.
       Dari paparan diatas, sangat kentara betapa tuntutan otonomi daerah dan perimbangan keuangan pusat-daerah saling terkait satu sama lain, ibarat dua sisi dari satu koin.

3.        Otonomi Daerah
Otonomi daerah adalah suatu keadaan yang memungkinkan daerah dapat mengaktualisasikan segala potensi terbaik yang dimilikinya secara optimal. Untuk mewujudkan keadaan tersebut, berlaku proposisi bahwa pada dasarnya segala persoalan sepatutnya diserahkan kepada daerah untuk mengidentifikasikan, merumuskan, dan memecahkanya, kecuali untuk persoalan-persoalan yang memang tidak mungkin diselesaikan oleh daerah itu sendiri dalam perspektif keutuhan negara-bangsa. Bukan sebaliknya, yaitu proposisi bahwa seluruh persoalan pada dasarnya harus diserahkan pada pemerintah pusat, kecuali untuk persoalan-persoalan tertentu yang telah dapat ditangani oleh daerah.
Jika proposisi pertama yang menjadi acuan untuk pemberdayaan daerah, maka tidak ada alasan yang membuat munculnya kesan kuat bahwa pemerintah pusat masih setengah hati memberikan otonomi penuh kepada daerah.

4.        Daya Tarik Otonomi Daerah
Otonomi daerah membuka kesempatan yang seluas-luasnya bagi daerah untuk mengaktualisasikan segala potensi terbaiknya secara optimal. Dengan demikian, setiap daerah niscaya memiliki satu atau beberapa keunggulan tertentu, relatif terhadap daerah-daerah lainnya. Bahkan, dilihat dari segi potensinya keunggulan tersebut  bisa bersifat mutlak—misalnya, yang berasal dari aspek lokasi ataupun anugrah sumber (factor endowment).
Beberapa prasyarat dibutuhkan untuk menyiapkan daerah-daerah menjadi pelaku aktif di kancah pasar global:
a.         Terjaminnya pergerakan bebas dari seluruh faktor produksi, barang dan jasa di wilayah Indonesia, kecuali untuk kasus-kasus yang dilandasi oleh argumen non-ekonomi
b.        Proses politik yang juga menjamin keotonomian masyarakat lokal melalui partisipasi politik dalam proses pengambilan keputusan yang berdampak kepada publik.
c.         Tegaknya good governance baik di pusat maupun di daerah, sehingga otonomi daerah tidak menciptakan bentuk-bentuk KKN baru.
d.        Keterbukaan daerah untuk bekerjasama dengan daerah-daerah lain tetangganya untuk mengoptimalkan pengelolaan sumber daya yang ada.
e.         Fleksibilitas sistem insentif
f.         Peran pemerintah daerah lebih sebagai regulator yang bertujuan untuk melindungi kelompok minoritas dan lemah serta menjaga harmoni dengan alam sekitar.

5.        Standardisasi Menuju Pemberdayaan Daerah
Standardisasi kegatan-kegiatan di daerah pada dasarnya tidak boleh menjadi pengekang baru dalam pelaksanaan otonomi daerah, melainkan justru sebagai penguat bagi perwujudan aktualisasi segala potensi daerah secara optimal.  Katakanlah standardisasi bisa dijadikan semacam prasyarat minimum bagi setiap daerah untuk bisa menjalankan fungsinya sebagai administrator dan regulator untuk menyejahterakan rakyatnya.  Perlu pula ditekankan bahwa pencapaian pada standar tertentu tidaklah bersifat statis. Jadi, tingkat pencapaian yang telah digapai bisa dijadikan sebagai titik tolak untuk menuju pada standar minimum yang telah ditetapkan.
Bagi Badan Standardisasi Nasional, boleh jadi yang menjadi concern adalah standardisasi pada tingkat nasional. Jika demikian halnya, hendaknya standardisasi yang diterapkan lebih bersifat memacu kulitas dan melindungi konsumen serta masyarakat ketimbang sebagai prasyarat yang ketat. Adapun untuk standardisasi yang berada pada tingkat propinsi dan kabupaten, lebih diarahkan untuk kegiatan-kegiatan daerah yang ruang lingkup dan dampaknya lebih terbtas (non-traded).

6.        Dampak Positif  dan Negatif  Otonomi Daerah
a.       Dampak Positif 
Dampak positif otonomi daerah adalah bahwa dengan otonomi daerah maka pemerintah daerah akan mendapatkan kesempatan untuk menampilkan identitas lokal yang ada di masyarakat. Berkurangnya wewenang dan kendali pemerintah pusat mendapatkan respon tinggi dari pemerintah daerah dalam menghadapi masalah yang berada di daerahnya sendiri. Bahkan dana yang diperoleh lebih banyak daripada yang didapatkan melalui jalur birokrasi dari pemerintah pusat. Dana tersebut memungkinkan pemerintah lokal mendorong pembangunan daerah serta membangun program promosi kebudayaan dan juga pariwisata. Dengan melakukan otonomi daerah maka kebijakan-kebijakan pemerintah akan lebih tepat sasaran, hal tersebut dikarenakan pemerintah daerah cenderung lebih mengerti keadaan dan situasi daerahnya, serta potensi-potensi yang ada di daerahnya dari pada pemerintah pusat. Contoh di Maluku dan Papua program beras miskin yang dicanangkan pemerintah pusat tidak begitu efektif, hal tersebut karena sebagian penduduk disana tidak bisa menkonsumsi beras, mereka biasa menkonsumsi sagu, maka pemeritah disana hanya mempergunakan dana beras miskin tersebut untuk membagikan sayur, umbi, dan makanan yang biasa dikonsumsi masyarakat. Selain itu, denga system otonomi daerah pemerintah akan lebih cepat mengambil kebijakan-kebijakan yang dianggap perlu saat itu, tanpa harus melewati prosedur di tingkat pusat.

b.      Dampak Negatif
Dampak negatif dari otonomi daerah adalah adanya kesempatan bagi oknum-oknum di pemerintah daerah untuk melakukan tindakan yang dapat merugikan Negara dan rakyat seperti korupsi, kolusi dan nepotisme. Selain itu terkadang ada kebijakan-kebijakan daerah yang tidak sesuai dengan konstitusi Negara yang dapat menimbulkan pertentangan antar daerah satu dengan daerah tetangganya, atau bahkan daerah dengan Negara, seperti contoh pelaksanaan Undang-undang Anti Pornografi ditingkat daerah. Hal tersebut dikarenakan dengan system otonomi daerah maka pemerintah pusat akan lebih sulit mengawasi jalannya pemerintahan di daerah, selain itu karena memang dengan sistem. Otonomi daerah membuat peranan pemeritah pusat tidak begitu berarti.
Otonomi daerah juga menimbulkan persaingan antar daerah yang terkadang dapat memicu perpecahan. Contohnya jika suatu daerah sedang mengadakan promosi pariwisata, maka daerah lain akan ikut melakukan hal yang sama seakan timbul persaingan bisnis antar daerah. Selain itu otonomi daerah membuat kesenjangan ekonomi yang terlampau jauh antar daerah. Daerah yang kaya akan semakin gencar melakukan pembangunan sedangkan daerah pendapatannya kurang akan tetap begitu-begitu saja tanpa ada pembangunan. Hal ini sudah sangat mengkhawatirkan karena ini sudah melanggar pancasila sila ke-lima, yaitu “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia”.


BAB IV
PENUTUP

KESIMPULAN
Adapun kesimpulan dari uraian-uraian di atas adalah :
1.        Pemberlakuan otonomi daerah sudah bukan menjadi sekedar tuntutan politis, tetapi sudah menjadi tuntutan zaman. Karena itu setiap daerah berhak untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri serta mengoptimalkan segala sumber daya  yang dimilikinya guna meningkatkan kesejahteraan warga di daerahnya.
2.        Dengan pemberlakuan otonomi daerah, diharapkan setiap daerah merasakan expansion and dispersion of wealth yang lebih merata—sebagai bentuk dampak baik dari arus globalisasi, bukannya concentration of wealth.
3.        Adanya keberagaman interpretasi atas konsep dan penerapan ekonomi, menjadikan standardisasi menjadi kata kunci bagi upaya pemberdayaan daerah. Akan tetapi, perlu pula ditekankan bahwa pencapaian pada standar tertentu tidaklah bersifat statis.
4.        Pelaksanaan otonomi daerah dapat menimbulkan dampak positif dan dampak negatif ibagi daerah itu sendiri maupun bagi keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

SARAN
Tidak semua daerah memiliki kemampuan dan potensi yang sama dalam melaksanakan kebijakan otonomi daerah dan dalam menghadapi persaingan bebas. Adalah tugas pemerintah pusat untuk membantu mengembangkan daerah-daerah yang belum mampu “berdiri sendiri”. Dengan begitu, diharapkan globalisasi akan memberikan dampak baik yang lebih merata dari terjadinya expansion and dispersion of wealth, bukannya concentration of wealth.



DAFTAR PUSTAKA

Basri, Faisal. 2002. PEREKONOMIAN INDONESIA tantangan dan harapan bagi kebangkitan Indonesia. Jakarta: Erlangga.
Tambunan, Tulus, T.H.  2003. PEREKONOMIAN INDONESIA beberapa masalah penting. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Kuncoro, Mudrajad. 2006. EKONOMIKA PEMBANGUNAN teori, masalah dan kebijakan. Yogyakarta: UPP STIM YKPN d/h  AMP YKPN.
http://www.scribd.com/doc/19470904/Otonomi-Daerah