pajak penhghasilan pasal 21,22,23,24,25,26
PPH PASAL 21
1.
Pemgertian PPh Pasal 21
Adalah pajak
yang dipotong oleh pemberi kerja atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan,
jasa, atau kegiatan dengan nama dan dalam bentuk apapun yang diterima atau diperoleh
Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri, atau pasal ini mengatur pemotongan ppajak untuk orang yang berkeja pada satu peusahaan dan di wajibkan mengisi SPT tahunan.
2.
Berikut ini adalah imbalan
pekerjaan, jasa, atau kegiatan dengan nama dan dalam bentuk apapun yang
diterima oleh Wajib Pajak Orang Pribadi dalam negeri:
a) Pegawai tetap, berupa penghasilan
yang bersifat teratur maupun tidak teratur.
b) Pegawai tidak tetap atau tenaga
kerja lepas, berupa upah harian, upah mingguan, upah satuan, upah borongan atau
upah yang dibayarkan secara bulanan.
c) Penerima pensiun secara teratur
berupa uang pensiun atau penghasilan lainnya
d) Pemutusan hubungan kerja dan
penghasilan sehubungan dengna pensiun yang diterima secara sekaligus berupa
uang pesangon, uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua atau jaminan hari tua,
dan pembayaran lain yang sejenis.
e) Bukan pegawai, antara lain berupa honorarium,
komisi, fee, dan imbalan sejenis dengan nama dan dalam bentuk apapun sebagai
imbalan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan.
f) Peserta kegiatan, antara lain berupa
uang saku, uang representasi, uang rapat, honorarium, hadiah atau penghargaan
dengan nama dan dalam bentuk apapun, dan imbalan sejenis dengan nama apapun.
g) Penghasilan berupa natura dan/atau
kenikmatan oleh bukan Wajib Pajak, Wajib Pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan
yang bersifat final atau Norma Penghitungan Khusus (deemed profit).
3.
Pemotong Pajak PPh Pasal 21
a) Pemberi kerja yang terdiri dari
orang pribadi atau badan, baik merupakan pusat maupun cabang, perwakilan atau
unit yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain
dengan nama dan dalam bentuk apapun, sebagai imbalan sehubungan dengan
pekerjaan atau jasa yang dilakukan oleh pegawai atau bukan pegawai.
b) Bendahara atau pemegang kas
pemerintah, termasuk bendahara atau pemegang kas pada pemerintah Pusat termasuk
instansi TNI/POLRI, Pemerintah Daerah, instansi atau lembaga pemerintah,
lembaga-lembaga, negara lainnya, dan Kedutaan Besar Republik Indonesia dil luar
negeri, yang membayarkan gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain
dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan,
jasa, dan kegiatan.
c) Dana pensiun, badan penyelenggara
jaminan sosial tenaga kerja, dan badan-badan lain yang membayar uang pensiun
dan tunjangan hari tua atau jaminan hari tua.
d) Orang pribadi yang melakukan
kegiatan usaha atau pekerjaan bebas serta badan yang membayar
e) Honorarium atau pembayaran lain
sebagai imbalan sehubungan dengan jasa dan/atau kegiatan yang dilakukan oleh
orang pribadi dengan status Subjek Pajak dalam negeri, termasuk tenaga ahli
yang melakukan pekerjaan bebas dan bertindak untuk dan atas namanya sendiri,
bukan untuk dan atas nama persekutuannya.
-
Honorarium
atau pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan kegiatan dan jasa yang
dilakukan oleh orang pribadi dengan status Subjek Pajak luar negeri.
-
Honorarium
atau imbalan lain kepada peserta pendidikan, pelatihan, dan magang.
f) Penyelenggara kegiatan, termasuk
badan pemerintah, organisasi yang bersifat nasional dan internasional,
perkumpulan, orang pribadi serta lembaga lainnya yang menyelenggarakan
kegiatan, yang membayar honorarium, hadiah, atau penghargaan dalam bentuk
apapun kepada Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri berkenaan dengan suatu
kegiatan.
4.
Yang tidak termasuk sebagai pemberi kerja yang mempunyai kewajiban untuk
melakukan pemotongan PPh pasal 21 adalah :
a) Kantor perwakilan Negara asing
b) Organisasi-organisasi internasional
yang telah ditetapkan oleh Menteri Keuangan
c) Pemberi kerja orang pribadi yang
tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang semata-mata
mempekerjakan orang pribadi untuk melakukan pekerjaan rumah tangga atau
pekerjaan bukan dalam rangka melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas.
5.
Wajib Pajak
PPh 21
a)
Pegawai
b)
Penerima uang pesangon, pensiun atau uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua,
atau jaminan hari tua, termasuk ahli warisnya.
c)
Bukan pegawai yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan denga
pekerjaan, jasa, atau kegiatan, antara lain meliputi:
Tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdir dari pengacara, akuntan,
arsitek, dokter, konsultan, notaries, penilai, dan aktuaris.
Pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintsng sinteron,
bintang iklan, sutradara, kru film, foto model, peragawan/peragawati, pemain
drama, penari, pemahat, pelukis, dan seniman lainnya.
Olahragawan
Penasehat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator.
Pengarang, peneliti, dan penerjemah.
Pemebri jasa dalam segala bidang termasuk teknik computer dan sisitem aplikasinya,
telekomunikasi, elektronika, fotografi, ekonomi, dan social serta pemebri jasa
keapda suatu kepanitiaan.
Agen iklan
Pengawa atau pengelola proyek
Pembawa pesanan atau yang menemukan langganan atau yang menjadi perantara.
Petugas penjaja barang dagangan
Petugas dinas luar asuransi
Distributor perusahaan umtilevel marketing atau direct selling dan kegiatan
sejenis lainnya.
d)
Peserta kegiatan yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan dengan
keikutsertaannya dalam suatu kegiatan, antar alain meliputi :
e)
Peserta perlombaan dalam sehala bidang, antara lain perlombaan olahraga, seni,
ketangkasan, ilmu pengetahuan, teknologi dan perlombaan lainnya.
f)
Peserta rapat, konferensi, siding, pertemuan, atau kunjungan kerja.
g)
Peserta atau anggota dalam suatu kepanitiaan sebagai penyelenggara kegiatan
tertentu.
h)
Peserta pendidikan, pelatihan, dan magang.
i)
Peserta kegiatan lainnya.
6.
Tidak termasuk
Wajib Pajak PPh Pasal 21
a)
Pejabat perwakilan diplomatic dan konsulat atau pejabat lain dari Negara asing,
dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan
bertempat tinggal bersama mereka, dengan syarat bukan warga Negara Indonesia
dan di Indonesia tidak menerima atau memperoleh penghasilan lain di luar
jabatan atau pekerjaannya tesebut, serta Negara yang bersangkutan memberikan
perlakuan timbale balik.
b)
Pejabat perwakilan organisasi internasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
ayat (1) huruf c Undang-Undang Pajak Penghasilan, yang telah ditetapkan oleh
Menteri Keuangan, dengan syarat bukan ewarga Negara Indonesia dan tidak
menjalankan usaha atau kegiatan atau pekerjaan lain untuk memperoleh
penghasilan dari Indonesia.
7.
Objek Pajak
PPh Pasal 21
Penghasilan
yang dipotong adalah:
a)
Penghasilan yang diterima atasu diperoleh pegawai tetap, baik berupa
penghasilan yang bersifat teratur maupun tidak teratur.
b)
Penghasilan yang diterima atau diperoleh penerima pensiun secara teatur berupa
uang pensiun atau penghasilan sejenisnya.
c)
Penghasilan sehubungan dengan pemutusan hubungan kerja dan penghasilan
sehubungan dengan pensiun yang diterima secra sekaligus berupa uang pesangon,
uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua atau jaminan hari tua, damn pembayaran
lain sejenis.
d)
Penghasilan pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas, berupa upah harian,
upah mingguan, upah satuan, upah borongan atau upah yang dibayarkan secara
bulanan.
e)
Imbalan kepada bukan pegawai, antara lain berupa honorarium, komisi, fee, dan
imbalan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan.
f)
Imbalan kepada peserta kegiatan, antara lain berupa uang saku, uang
representasi, uang rapat, honorarium, hadiah atau penghargaan dengan anma dan
dalam bentuk apapun, dan ombalan sejenis dengan nama apapun.
g)
Penerimaan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan lainnya dengan nama dan
dalam bentuk apapun yang diberikan oleh :
Bukan Wajib Pajak
Wajib Pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final atau
Wajib Pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan berdasarkan norma penghitungan
khusus (deemed profit).
Berikut ini yang bukan merupakan
objek pemotongan PPh Pasal 21:
a)
Pembayaran manfaat atau santunan asuransi dari perusahaan asuransi sehubungan
dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi
dwiguna, dan asuransi beasiswa.
b)
Penerimaan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan dalam bentuk apng diberikan
apapun yang diberikan oleh Wajib Pajak atau pemerintah, kecuali yang diberikan
oleh bukan Wajib Pajak, Wajib Pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan yang
bersifat final atau Norma Perhitungan Khusus (deemed profit).
c)
Iuran pensiun yang dibayarkan kepada dana pensiun yang pendiriannya telah
disahkan oleh Menteri Keuangan, iuran tunjangan hari tua atau iuran jaminan
hari tua kepada badan penyelenggara tunjangan hari tua atau badan penyelenggara
jaminan sosial tenaga kerja yang dibayar oleh pemberi kerja.
d)
Zakat yang diterima oleh orang pribadi yang berhak dari badan atau lembaga amil
zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah, atau sumbangan keagamaan
yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia dan diterima
oleh orang pribadi yag berhak dari lembaga keagamaan yang dibentuk atau
disahkan oleh pemerintah.
e)
Beasiswa, yang memenuhi persyaratan sebagai berikut:
penghasilan berupa beasiswa yang diterima atau diperoleh WNI dari Wajib Pajak
pemberi beasiswa dalam rangka mengikuti pendidikan formal dan atau informal di
dalam negeri maupun di luar negeri.
ketentuan beasiswa tersebut tidak berlaku apabila penerima beasiswa mempunyai
hubungan istimewa dengan pemilik, komisaris, direksi atau pengurus dari Wajib
Pajak pemberi beasiswa.
Komponen beasiswa terdiri dari biaya pendidikan yang dibayarkan ke sekolah
(tuition fee), biaya ujian, biaya penelitian yang berkaitan dengan bidang studi
yang diambil, biaya untuk pembelian buku, dan/atau biaya hidup yang wajar
sesuai dengna daerah lokasi tempat belajar.
9.
Tarif Pajak
dan Penerapannya untuk Wajib Pajak yang memiliki NPWP
a)
Penghitungan Pemotongan PPh Terhadap Penghasilan Pegawai Tetap
o
Dengan Gaji Bulanan
Contoh :
Sanusi pada
tahun 2009 bekerja pada perusahaan PT Madju dengan memperoleh gaji sebulan Rp
2.500.000 dan membayar iuran pensiun sebesar Rp 100.000. Sanusi menikah tetapi
belum mempunyai anak.
Penghitungannya
sebagai berikut:
Gaji
sebulan
Rp 2.500.000
Pengurangan:
1)
Biaya
jabatan:
5% x Rp
2.500.000 Rp 125.000
2)
Iuran
pensiun
Rp 100.000
Jumlah
pengurangan
(Rp 225.000)
Penghasilan
netto
sebulan
Rp 2.275.000
Penghasilan
netto setahun (12xRp 2.275.000) Rp 27.300.000
PTKP setahun
-untuk WP
sendiri
Rp 15.840.000
-tambahan WP
kawin Rp 1.320.000
Jumlah
PTKP
(Rp 17.160.000)
Penghasilan
Kena Pajak
setahun
Rp 10.140.000
PPh Pasal 21
terutang 5% x Rp 10.140.000 Rp
507.000
PPh pasal 21
sebulan Rp 507.000 :
12
Rp
42.250
o
Dengan gaji Mingguan dan Gaji Harian
Contoh:
Toni Wijaya
pegawai pada perusahaan PT Samudra dengan memperoleh gaji mingguan sebesar Rp
500.000 . Toni kawin dan mempunyai seorang anak. PT Samudra masuk program
Jamsostek, premi Jaminan Kecelakaan Kerja dan premi Jaminan Kematian dibayar
oleh pemberi kerja dengan jumlah masing-masing setiap bulan sebesar 1% dan 0,3%
dari gaji. PT Samudra membayar iuran Jaminan Hari Tua setiap bulan sebesar 3,7%
dari gaji dan Toni membayar iuran pensiun Rp 10.000 dan Jaminan Hari Tua
sebesar 2% dari gaji.
Penghitungannya
sebagai berikut :
Penghasilan
sebulan
(4x500.000)
Rp 2.000.000
Premi JKK
(1%x2.000.000)
Rp 20.000
Premi JKM
(0.3%x2.000.000)
Rp 6.000
Penghasilan
bruto
sebulan
Rp 2.026.000
Pengurangan
1)
Biaya jabatan (5%x
2.026.000) Rp
101.300
2)
Iuran
pensiun
Rp 10.000
3)
Iuran JHT (2%x2.000.000)
RP 40.000
Jumlah pengurangan
(Rp 151.300)
Penghasilan
netto
sebulan
Rp 1.874.700
Penghasilan
netto setahun
(12x1.874.700)
Rp 22.496.400
PTKP
-untuk
WP
Rp 15.840.000
-tambahan
karena menikah
Rp 1.320.000
-tambahan
seorang
anak
Rp 1.320.000
Jumlah
PTKP
(Rp 18.480.000)
Penghasilan
Kena Pajak
setahun
Rp 4.016.400
Pembulatan
Rp 4.016.000
PPh Pasal 21
setahun
5%x4.016.000
Rp 243.050
PPh Pasal 21
sebulan (243.050 :
12)
Rp 20.254
PPh Pasal 21
sehari (20.254
:26)
Rp 779
b)
Penerima Pensiun Berkala yang Dibayarkan Secara Bulanan
Contoh :
Wijaya
seorang pegawai yang sudah pensiun dengan dana pensiun sebulan Rp 3.000.000.
Wijaya sudah menikah dan memiliki 2 orang anak
Perhitungannya
sebagai berikut :
Pensiun
sebulan
Rp 3.000.000
Pengurangan
:
Biaya
pensiun 5% x
3.000.000
(Rp 150.000)
Penghasilan
neto
sebulan
Rp 2.850.000
Penghasilan
netto setahun
(12x2.850.000)
Rp 34.200.000
PTKP
-untuk WP
sendiri
Rp 15.840.000
-tambahan
karena menikah
Rp 1.320.000
-tambahan
untuk 2
anak
Rp 2.640.000
Jumlah
PTKP
(Rp 19.800.000)
Penghasilan
Kena
Pajak
Rp 14.400.000
PPh Pasal 21
setahun 5% x
14.400.000
Rp 720.000
PPh Pasal 21
sebulan 720.000 :
12
RP 60.000
c)
Pegawai Tidak Tetap atau Tenaga Kerja Lepas yang Dibayarkan secara Bulanan
Contoh :
Budi bekerja
pada perusahaan elektronik dengan dasar upah harian yang dibayarkan bulanan.
Dalam bulan Maret 2009, Budi hanya bekerja 20 hari kerja dan upah sehari adalah
Rp 120.000. Budi menikah tetapi belum memiliki anak .
Penghitungan
PPh sebagai berikut :
Upah Maret
2009 (20 x
120.000)
Rp 2.400.000
Penghasilan
neto setahun (12 x
2.400.000)
Rp 28.800.000
PTKP
-untuk WP
sendiri
Rp 15.840.000
-tambahan
karena menikah
Rp 1.320.000
Jumlah
PTKP
(Rp 17.160.000)
Penghasilan
Kena
Pajak
Rp 11.640.000
PPh Pasal 21
setahun 5% x
11.640.000
Rp 582.000
PPh Pasal 21
sebulan
(582.000:12)
Rp 48.500
Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh pegawai tidak tetap atau tenaga
kerja lepas berupa upah harian, upah mingguan, upah satuan, upah borongan, dan
uang saku harian, sepanjang penghasilan tidak dibayarkan secara bulanan, tarof
lapisan pertama Pasal 17 UU PPh (5%) diterapkan atas :
a)
Jumlah penghasilan bruto sehari yang melebihi Rp 150.000 atau
b)
Jumlah penghasilan bruto dikurangi PTKP yang sebenarnya dalam hal jumlah
penghasilan kumulatif dalam satu bulan kalender telah melebihi Rp 1.320.000
Dalam hal
jumlah penghasilan kumulatif dalam satu bulan kalender telah melebihi Rp
6.000.000, PPh Pasal 21 dihitnung dengan menerapkan tarof Pasal 17 UU PPh ataqs
jumlah Penghasilan Kena Pajak yang disetahunkan.
Tarif berdasarkan pasal 17 UU PPh diterapkan atas jumlah kumulatif dari
a)
Penghasilan Kena Pajak sebesar jumlah penghasilan bruto dikurangi PTKP, yang
diterima atau diperboleh bukan pegawai (selain tenaga ahli), yang menerima
imbalan yang bersifat berkesinambungan yang memenuhi ketentuan :
o
Yang bersangkutan telah mempunyai NPWP
o
Hanya memperoleh penghasilan dari hubungan kerja dengan Pemotong PPh Pasal 21
o
Tidak memperoleh penghasilan lainnya.
o
PPh Pasal 21 = (penghasilan bruto-PTKP) x tarif Pasal 17 UU PPh
o
Jika tidak memenuhi syarat maka PPh Pasal 21 = Penghasilan bruto x tariff Ps 17
b)
50% dari jumlah penghasilan bruto yang diterima atau diperoleh tenaga ahli yang
melakukan pekerjaan bebas, yang terdiridari pengacara, akuntan, arsitek,
dokter, konsultan, notaris, penilai, dan aktuaris
PPh Pasal 21
= (50% x Penghasilan bruto) x tarif pasal 17
c)
Jumlah penghasilan bruto berupa honorarium atau imbalan yang bersifat tidak
teratur yang diterima atau diperoleh anggota dewan komisaris atau dewan
pengawas yang tidak merangkap sebagai pegawai tetap pada perusahaan yang sama.
PPh Pasal 21
= penghasilan bruto x tariff Ps 17
d)
Jumlah penghasilan bruto berupa jasa produksi, tantiem, gratifikasi, bonus atau
imbalan lain yang bersifat tidak teratur yang diterima atau diperoleh mantan
pegawai
PPh Pasal 21
= penghasilan bruto x 17
e)
Jumlah penghasilan bruto berupa penarikan dana pensiun oleh peserta program
pensiun yang masih berstatus sebagai pegawai, dari dana pensiun yang
pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan
PPh pasal
21= penghasilan bruto x tariff pasal 17
10. Tarif Pemotongan PPh Bagi Penerima
Penghasilan yang Tidak Punya NPWP
Bagi
penerima penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 yang tidak memilikiNPWP,
dikenakan pemotongan PPh Pasal 21 dengan tarif lebih tinggi 20% daripada tariff
yang diterapkan terhadap Wajib Pajak yang memiliki NPWP. Artinya jumlah PPh
yang harus dipotong sebesar 120 %dari jumlah PPh Pasal 21 yang seharusnya
dipotong dalam hal yang bersangkutan memiliki NPWP. Pemotongan ini hanya
berlaku untuk pemotongan PPh Pasal 21 yang bersifat tidak final.
Uang
Pesangon adalah penghasilan yang dibayarkan oleh pemberi kerja termasuk
Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja kepada pegawai, dengna nama dan dalam
bentuk apapun, sehubungan dengan berakhirnya masa kerja atau terjadi pemutusan
hubungan kerja, termasuk uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak.
Dalam
peraturan baru tersebut, ada penyesuaian tarif PPh untuk uang pesangon, uang
pensiun, tabungan hari tua, dan jaminan hari tua dari perusahaan. Adapun tarif
baru tersebut adalah sebagai berikut:
a)
Atas penghasilan bruto sampai dengan Rp. 50 juta, tarifnya 0%;
b)
Atas penghasilan bruto diatas Rp. 50 juta sampai dengan Rp. 100 juta, tarifnya
5%;
c)
Atas penghasilan bruto diatas Rp. 100 juta sampai dengan Rp. 500 juta, tarifnya
15%.
d)
Atas penghasilan bruto diatas Rp. 500 juta, tarifnya 25%.
Sedangkan
tarif PPh Pasal 21 atas penghasilan berupa Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari
Tua, atau Jaminan Hari Tua ditentukan sebagai berikut:
a)
atas penghasilan bruto sampai dengan Rp. 50 juta, dikenakan tarif 0%;
b)
atas penghasilan bruto di atas Rp. 50 juta, dikenakan tarif 5%.
catatan : penghailan bruto adalah penghasilan bersih di tambah tunjangan dan upah dalam 1 bulan
PAJAK PENGHASILAN PASAL 22
I.
Pengertian
Pajak
Penghasilan (PPh) Pasal 22 adalah PPh yang dipungut oleh:
1. Bendaharawan Pemerintah
Pusat/Daerah, instansi atau lembaga pemerintah dan lembaga-lembaga negara
lainnya, berkenaan dengan pembayaran atas penyerahan barang;
2. Badan-badan tertentu, baik badan
pemerintah maupun swasta berkenaan dengan kegiatan di bidang impor atau
kegiatan usaha di bidang lain.
II.
Pemungut & Objek PPh Pasal 22
1. Bank Devisa dan Direktorat
Jenderal Bea dan Cukai (DJBC), atas impor barang;
2. Direktorat Jenderal Anggaran
(DJA), Bendaharawan Pemerintah Pusat/ Daerah yang melakukan pembayaran, atas
pembelian barang;
3. BUMN/BUMD yang melakukan pembelian
barang dengan dana yang bersumber dari belanja negara (APBN) dan atau belanja
daerah (APBD);
4. Bank Indonesia (Bl), Badan
Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), Badan Urusan Logistik (BULOG), PT. Telekomunikasi
Indonesia (Telkom), PT. Perusahaan Listrik Negara (PLN), PT. Garuda
Indonesia, PT.Indosat, PT. Krakatau Steel, Pertamina dan bank-bank BUMN yang
melakukan pembelian barang yang dananya bersumber baik dari APBN maupun dari
non APBN;
5. Industri semen, industri rokok
putih, industri kertas, industri baja dan industri otomotif, yang ditunjuk
oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak, atas penjualan hasil produksinya di dalam
negeri;
6. Pertamina serta badan usaha
lainnya yang bergerak dalam bidang bahan bakar minyak jenis premix, super TT
dan gas, atas penjualan hasil produksinya.
7. Industri dan eksportir perhutanan,
perkebunan, pertanian, dan perikanan, yang ditunjuk oleh Kepala Kantor
Pelayanan Paja, atas pembelian bahan-bahan untuk keperluan industri atau ekspor
mereka dari pedagang pengumpul.
III. Tarif
PPh Pasal 22
Atas impor
:
1. yang menggunakan Angka Pengenal
Importir (API), 2,5% (dua setengah persen) dari nilai impor;
2. yang tidak menggunakan API, 7,5%
(tujuh setengah persen) dari nilai impor;
3. yang tidak dikuasai, 7,5% (tujuh
setengah persen) dari harga jual lelang.
1. Atas pembelian barang yang
dilakukan oleh DJA, Bendaharawan Pemerintah, BUMN/BUMD (angka II butir 2,3,
dan 4) sebesar 1,5% (satu setengah persen) dari harga pembelian dan tidak
final.
2. Atas penjualan hasil produksi
(angka II butir 5) ditetapkan berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak,
yaitu:
o
Kertas = 0.1% x DPP PPN (Tidak Final)
o
Semen = 0.25% x DPP PPN (Tidak Final)
o
Baja = 0.3% x DPP PPN (Tidak Final)
o
Rokok = 0.15% x Harga Bandrol (Final)
o
Otomotif = 0.45% x DPP PPN (Tidak Final)
3. Atas penjualan hasil produksi atau
penyerahan barang oleh Pertamina dan badan usaha lainnya yang bergerak dalam
bidang bahan baker minyak jenis premix, super TT dan gas adalah sebagai
berikut:
Catatan:
Pungutan PPh Pasal 22 kepada penyalur /dealer/agen, bersifat final. Atas
pembelian bahan-bahan untuk keperluan industri atau ekspor dari pedagang
pengumpul (angka II butir 7) ditetapkan sebesar 0,5 % dari harga pembelian.
IV.
Pengecualian Pemungutan PPh Pasal 22
1. Impor barang dan atau penyerahan
barang yang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan tidak terutang
PPh, dinyatakan dengan Surat Keterangan Bebas (8KB).
2. Impor barang yang dibebaskan dari
Bea Masuk dan atau Pajak Pertambahan Nilai; dilaksanakan oleh DJBC.
3. Impor sementara jika waktu
impornya nyata-nyata dimaksudkan untuk diekspor kembali, dan dilaksanakan
oleh Dirjen BC.
4. Pembayaran atas pembelian barang
oleh pemerintah yang jumlahnya paling banyak Rp. 1.000.000,- (satu juta
rupiah) dan tidak merupakan pembayaran yang terpecah-pecah.
5. Pembayaran untuk pembelian bahan
bakar minyak, listrik, gas, air minum/PDAM, benda-benda pos.
6. Emas batangan yang akan di proses
untuk menghasilkan barang perhiasan dari emas untuk tujuan ekspor, dinyatakan
dengan SKB.
7. Pembayaran/pencairan dana Jaring
Pengaman Sosial oleh Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara.
8. Impor kembali (re-impor) yang
memenuhi syarat yang ditentukan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
9. Pembayaran untuk pembelian gabah
dan atau beras oleh Bulog.
V. Saat
Terutang dan Pelunasan/Pemungutan PPh Pasal 22
1. Atas impor barang terutang dan
dilunasi bersamaan dengan saat pembayaran Bea Masuk. Dalam hal pembayaran Bea
Masuk ditunda atau dibebaskan, maka PPh Pasal 22 terutang dan dilunasi pada
saat penyelesaian dokumen Pemberitahuan Impor Barang (PIB);
2. Atas pembelian barang (angka II
butir 2,3, dan 4) terutang dan dipungut pada saat pembayaran;
3. Atas penjualan hasil produksi
(angka II butir 5) terutang dan dipungut pada saat penjualan;
4. Atas penjualan hasil produksi
(angka II butir 6) dipungut pada saat penerbitan Surat Perintah Pengeluaran
Barang (Delivery Order);
5. Atas pembelian bahan-bahan (angka
II butir 7) terutang dan dipungut pada saat pembelian.
VI.Tata
Cara Pemungutan, Penyetoran, dan Pelaporan PPh Pasal 22
1. PPh Pasal 22 atas impor barang
(angka II butir 1) disetor oleh importer dengan menggunakan formulir Surat
Setoran Pajak, Cukai dan Pabean (SSPCP). PPh Pasal 22 atas impor barang yang
dipungut oleh DJBC harus disetor ke Bank Persepsi atau Kantor Pos dan Giro
dalam jangka waktu 1(satu) hari setelah pemungutan pajak dan dilaporkan ke
KPP secara mingguan paling lambat 7 (tujuh) hari setelah batas waktu
penyetoran pajak berakhir.
2. PPh Pasal 22 atas pembelian barang
(angka II butir 2 dan 3) disetor oleh pemungut atas nama dan NPWP Wajib Pajak
ke Bank Persepsi atau Kantor Pos dan Giro secara kolektif pada hari yang sama
dengan pelaksanaan pembayaran atas penyerahan barang. Pemungut menerbitkan
bukti pungutan rangkap tiga, yaitu:
o
lembar pertama untuk pembeli;
o
lembar kedua sebagai lampiran laporan bulanan ke
Kantor Pelayanan Pajak;
o
lembar ketiga untuk arsip Pemungut Pajak yang
bersangkutan, dan dilaporkan ke KPP paling lambat 14 (empat belas ) hari
setelah masa pajak berakhir.
3. PPh Pasal 22 atas pembelian barang
(angka II butir 4) disetor oleh pemungut atas nama Wajib Pajak ke Bank
Persepsi atau Kantor Pos dan Giro paling lambat tanggal 10 (sepuluh) bulan
takwim berikutnya dengan menggunakan formulir SSP dan menyampaikan SPT Masa
ke KPP paling lambat 20 (dua puluh) hari setelah masa pajak berakhir.
4. PPh Pasal 22 atas penjualan hasil
produksi (angka II butir 5 dan 7) disetor oleh pemungut atas nama wajib pajak
ke Bank Persepsi atau Kantor Pos dan Giro paling lambat tanggal 10 (sepuluh)
bulan takwim berikutnya dengan menggunakan formulir SSP. Pemungut menyampaikan
SPT Masa ke KPP paling lambat 20 (dua puluh) hari setelah masa pajak
berakhir.
5. PPh Pasal 22 atas penjualan hasil
produksi (angka II butir 6) disetor sendiri oleh Wajib Pajak ke Bank Persepsi
atau Kantor Pos dan Giro sebelum Surat Perintah Pengeluaran Barang (delivery
order) ditebus dengan menggunakan SSP. Pemungut wajib menerbitkan bukti
pemungutan PPh Ps. 22 rangkap 3 yaitu:
o
lembar pertama untuk pembeli;
o
lembar kedua sebagai lampiran laporan bulanan kepada
Kantor Pelayanan Pajak;
o
lembar ketiga untuk arsip Pemungut Pajak yang
bersangkutan.
Pelaporan
dilakukan dengan cara menyampaikan SPT Masa ke KPP setempat paling lambat 20
(dua puluh) hari setelah Masa Pajak berakhir.
catatan : yaitu pasal yang mengatur tentang bidang usaha lain, penyerahan barang kepada pemerintah yang menggunakan PBN / APBD
|
PAJAK PENGHASILAN PASAL 23
Pengertian
Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23 adalah pajak yang
dipotong atas penghasilan yang berasal dari modal, penyerahan jasa, atau hadiah
dan penghargaan, selain yang telah dipotong PPh Pasal 21.
Pemotong dan Penerima Penghasilan
yang Dipotong PPh Pasal 23
1. Pemotong
PPh Pasal 23:
- badan pemerintah;
- Wajib Pajak badan dalam negeri;
- penyelenggaraan kegiatan;
- bentuk usaha tetap (BUT);
- perwakilan perusahaan luar negeri lainnya;
- Wajib Pajak Orang pribadi dalam negeri tertentu, yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak.
2. Penerima
penghasilan yang dipotong PPh Pasal 23:
- WP dalam negeri;
- BUT
Tarif dan Objek PPh Pasal 23
- 15 % dari jumlah bruto atas:
a) dividen, bunga, dan
royalti;
b) hadiah dan
penghargaan selain yang telah dipotong PPh pasal 21.
- 15 % dari jumlah bruto dan final atas bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi, yang jumlahnya melebihi Rp. 240.000,00 setiap bulan.
- 5% dari perkiraan penghasilan neto atas sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta. Tarif, perkiraan penghasilan neto, dan objeknya adalah:
a) 15 % x 10 % dari
jumlah bruto atas sewa penggunaan harta khusus kendaraan angkutan darat.
b) 15 % x 30 % dari
jumlah bruto atas sewa lainnya (tidak termasuk sewa tanah dan bangunan).
- 15 % dari perkiraan penghasilan netto atas Imbalan jasa. Tarif, perkiraan penghasilan neto dan objek imbalan jasa adalah:
a) 15 % x 30 % dari
jumlah bruto imbalan jasa teknik dan jasa manajemen dan jasa konsultan kecuali
konsultansi kontruksi
b) 15% x 26 2/3% dari
jumlah bruto (yang dibayarkan seluruhnya termasuk pemberian jasa dan pengadaan
material/barang) imbalan jasa perencanaan konstruksi, jasa pengawasan
konstruksi;
c) 15% x 30% dari jumlah
bruto jasa penilai, jasa aktuaris, jasa akuntasi, jasa perancang, jasa
pengeboran (jasa drilling) di bidang penambang minyak dan gas bumi (migas),
kecuali yang dilakukan oleh bentuk usaha tetap, jasa penunjang di bidang
penambangan migas, jasa penambangan dan jasa penunjang di bidang penambang selain
migas, jasa penunjang di bidang penerbang dan Bandar udara, jasa penebangan
hutan, jasa pengelolaan limbah, jasa penyedia tenaga kerja, jasa perantara,
jasa perantara, jasa di bidang perdagangan surat-surat berharga, kecuali yang
dilakukan oleh Bursa Efek, KSEI dan KPEI, jasa kostudian/penyimpanan/
penitipan. Kecuali yang dilakukan KSEI, jasa pengisian suara, jasa mixing film,
jasa sehubungan dengan software computer, termasuk perawatan, pemeliharaan dan
perbaikan.
d) 15% x 30% dari jumlah bruto
imbalan jasa instalasi / pemasangan :
1. Jasa
instalasi/pemasangan mesin,
2. jasa instalasi /
pemasangan peralatan listrik / telepon/air/ gas/ AC/TV kabel
Kecuali yang
dilakukan oleh Wajib Pajak yang ruang lingkup pekerjaannya di bidang konstruksi
dan mempunyai izin/sertifikat sebagai pengusaha konstruksi;
e) 15% x 30% dari jumlah
bruto imbalan jasa perawatan/ pemeliharaan/ perbaikan :
1. Jasa perawatan /
pemeliharaan / perbaikan mesin,listrik /telepon /air / gas / AC / TV kabel;
2. Jasa perawatan /
pemeliharaan / perbaikan peralatan;
3. Jasa perawatan /
pemeliharaan / perbaikan bangunan;
Kecuali yang
dilakukan oleh Wajib Pajak yang ruang lingkup pekerjaanya di bidnag konstruksi
dan mempunyai izin/sertifikat sebagai pengusaha konstruksi.
f) 15 % x 13 1/3 %
dari jumlah bruto (yang dibayarkan seluruhnya termasuk pemberian jasa dan pengadaan
material/barang) imbalan jasa pelaksanaan konstruksi termasuk jasa perawatan/
pemeliharaan/ perbaikan bangunan, jasa instalasi/pemasangan mesin, listrik/
telepon/air/gas/AC/TV kabel yang dilakukan Wajib Pajak pengusaha Konstruksi
yang mempunyai izin/sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi.
g) 5 % x 20 % dari
jumlah bruto imbalan jasa maklon, jasa penyelidikan dan keamanan, jasa
penyelenggaraan kegiatan/event organizer, jasa pengepakan.
h) 15 % x 20 % dari
jumlah bruto imbalan jasa penyediaan tempat dan/atau waktu dalam media massa,
media luar ruang atau media lain untuk penyampaian informasi
i) 5 % x 10
% dari jumlah bruto imbalan jasa pembasmian hama dan jasa pembersihan /cleaning
service.
j) 15 % x 10
% dari jumlah bruto (yang dibayarkan seluruhnya termasuk pemberian jasa dan
pengadaan material/barang) imbalan Jasa katering
Penghitungan PPh Pasal 23 terutang menggunakan jumlah
Bruto tidak termasuk PPN.
Dikecualikan dari Pemotongan PPh Pasal 23
- Penghasilan yang dibayar atau terutang kepada bank;
- Sewa yang dibayar atau terutang sehubungan dengan sewa guna usaha dengan hak opsi;
- Dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai WP dalam negeri, koperasi, BUMN/BUMD, dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat:
- dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan;
- bagi perseroan terbatas, BUMN/D, kepemilikan saham pada badan yang memberikan dividen paling rendah 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah modal yang disetor dan harus mempunyai usaha aktif di luar kepemilikan saham tersebut;
- Bunga obligasi yang diterima atau diperoleh perusahaan reksa dana selama 5 (lima) tahun pertama sejak pendirian perusahaan atau pemberian ijin usaha;
- Bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma dan kongsi;
- SHU koperasi yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggotanya;
- Bunga simpanan anggota koperasi yang tidak melebihi jumlah Rp.240.000.00 setiap bulan.
Saat
Terutang, Penyetoran, dan SPT Masa PPh Pasal 23
- PPh Pasal 23 terutang pada akhir bulan dilakukannya pembayaran atau akhir bulan terutangnya penghasilan yang bersangkutan, tergantung peristiwa yang terjadi terlebih dahulu.
- PPh Pasal 23 disetor oleh Pemotong Pajak paling lambat tanggal sepuluh bulan takwim berikutnya setelah bulan saat terutang pajak.
- SPT Masa disampaikan ke Kantor Pelayanan Pajak setempat, paling lambat 20 hari setelah Masa Pajak berakhir.
Bukti Pemotong PPh Pasal 23
Pemotong
Pajak harus memberikan Bukti Pemotongan PPh Pasal 23 kepada Wajib Pajak Orang
Pribadi atau badan yang telah dipotong PPh Pasal 23.
catatan : pasal ini mengatur tentang pemotongan pajak untuk jasa
Pajak Penghasilan Pasal 24
Pengertian Pajak Penghasilan Pasal 24 adalah
Pemotongan Pajak Penghasilan atas seluruh penghasilan yang diterima atau
diperoleh Wajib Pajak Dalam Negeri yang berasal dari Luar Negeri
Penggabungan penghasilan yang berasal dari luar negeri dilakukan sebagai berikut :
Penggabungan penghasilan yang berasal dari luar negeri dilakukan sebagai berikut :
- Untuk penghasilan dari usaha dilakukan dalam tahun pajak diperolehnya penghasilan
- Untuk penghasilan berupa dividen, dilakukan dalam tahun pajak pada saat perolehan dividen tersebut (650/KMK.04/1994 Jo SE - 22/PJ.4/1995 Jo SE - 35/PJ.4/1995)
- Untuk penghasilan lainnya, dilakukan dalam tahun pajak diterimanya penghasilan tersebut
- Kerugian yang diderita di luar negeri tidak boleh digabungkan dalam menghitung Penghasilan Kena Pajak di Indonesia.
Mekanisme
Pengkreditan PPh yang Dibayar di Luar Negeri (164/KMK.03/2002)
- Pajak Penghasilan yang dibayar atau terutang di Luar Negeri dapat dikreditkan dengan Pajak Penghasilan yang terutang di Indonesia.
- Pengkreditan PPh yang dibayar di Luar Negeri (PPh Pasal 24) dilakukan dalam tahun pajak digabungkannya penghasilan dari luar negeri tersebut dengan penghasilan di Indonesia.
- Jumlah PPh Pasal 24 yang dapat dikreditkan maksimum sebesar jumlah yang lebih rendah di antara PPh yang dibayar atau terutang di Luar Negeri dan jumlah yang dihitung menurut perbandingan antara penghasilan dari luar negeri dan seluruh Penghasilan Kena Pajak, atau maksimum sebesar PPh yang terutang atas seluruh Penghasilan Kena Pajak dalam hal di dalam negeri mengalami kerugian (Penghasilan dari LN lebih besar dari jumlah Penghasilan Kena Pajak).
- Apabila penghasilan dari luar negeri berasal dari beberapa negara, maka penghitungan PPh Pasal 24 dilakukan untuk masing-masing negara.
- Penghasilan Kena Pajak (PKP) yang dikenakan PPh Final (Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 ) dan/atau penghasilan yang dikenakan pajak tersendiri (Pasal 8 ayat (1 dan 4) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 ) tidak dapat digabungkan dengan penghasilan lainnya, baik yang diperoleh dari Dalam Negeri maupun dari Luar Negeri.
- Dalam hal jumlah PPh yang dibayar atau terutang di luar negeri melebihi PPh Pasal 24 yang dapat dikreditkan, kelebihan tersebut tidak dapat diperhitungkan di tahun berikutnya, tidak boleh dibebankan sebagai biaya, dan tidak dapat direstitusi.
- Untuk melaksanakan prengkreditan PPh Luar Negeri, wajib pajak wajib menyampaikan permohonan ke KPP bersamaan dengan penyampaian SPT Tahunan PPh, dilampiri dengan ;
- - Laporan Keuangan dari penghasilan yang berasal dari luar negeri
- - Foto kopi Surat Pemberitahuan Pajak yang disampaikan di luar negeri
- - Dokumen pembayaran PPh di luar negeri.
- Atas permohonan wajib pajak, Kepala KPP dapat memperpanjang jangka waktu penyampaian lampiran-lampiran di atas, karena alasan-alasan di luar kekuasaan wajib pajak.
- Dalam hal terjadi perubahan besarnya penghasilan yang berasal dari luar negeri, wajib pajak harus melakukan pembetulan SPT Tahunan yang bersangkutan dengan melampirkan dokumen-dokumen yang berkenaan dengan perubahan tersebut.
- Apabila karena pembetulan SPT tersebut menyebabkan PPh kurang dibayar, maka atas kekurangan bayar tersebut tidak dikenakan sanksi bunga.
- Apabila karena pembetulan SPT tersebut menyebabkan lebih bayar, maka atas kelebihan tersebut dapat dikembalikan kepada wajib pajak setelah diperhitungkan dengan utang pajak lainnya.
PPH PASAL 25
Cara
Menghitung Besarnya PPh pasal 25
Besarnya angsuran pajak dalam tahun berjalan yang
harus dibayar oleh WP untuk setiap bulan adalah sebesar Pajak Penghasilan yang
terutang menurut Surat Pemberitahuan Pajak Tahunan Pajak Penghasilan tahun
pajak yang lalu dikurangi dengan:
Pajak Penghasilan yang dipotong sebagaimana
dimaksud dalam pasal 21 dan pasal 23 serta Pajak Penghasilan yang dipungut
sebagaimana dimaksud dalam pasal 22
Pajak Penghasilan yang dibayar atau terutang
di luar negeri yang boleh dikreditkan sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 24
Setelah dilakukan pengurangan kemudian dibagi 12 (duabelas) atau banyaknya
bulan dalam bagian tahun pajak
Hal-hal
Tertentu Untuk Penghitungan Besarnya Angsuran PPh Pasal 25
a) Wajib Pajak berhak
atas kompensasi kerugian
b) Wajib Pajak
memperoleh penghasilan tidak teratur
c) SPT Tahunan PPh tahun
yang lalu disampaikan setelah lewat batas waktu yang ditentukan
d) Wajib Pajak diberikan perpanjangan
jangka waktu penyampaian SPT Tahunan PPh
e) Wajib Pajak
membetulkan sendiri SPT Tahunan PPh yang mengakibatkan angsuran bulanan lebih
besar dari angsuran bulanan sebelum pembetulan
f) Terjadi
perubahan keadaan usaha atau kegiatan Wajib Pajak
Beberapa
Masalah/Kasus untuk Menghitung Besarnya PPh Pasal25
Angsuran bulanan untuk bulan sebelum batas waktu penyampaian SPT Tahunan PPh adalah sebesar angsuran pajak untuk bulan terakhir dari tahun pajak yang lalu
Apabila
dalam tahun pajak berjalan diterbitkan Surat Ketetapan Pajak untuk tahun pajak
yang lalu maka angsuran pajak dihitung kembali berdasarkan Surat Ketetapan
Pajak tersebut dan berlaku mulai bulan berikutnya setelah bulan penerbitan
Surat Ketetapan Pajak
Angsuran PPh
Pasal 25 bagi WP Baru,Bank,BUMN,BUMD, dan WP Tertentu lainnya
Berdasarkan UU PPh pasal 25 ayat (7) perhitungan PPh pasal 25 bagi WP Baru, Bank, BUMN, BUMD dan WP tertentu lainnya ditetapkan oleh MenKeu.
Berdasarkan UU PPh pasal 25 ayat (7) perhitungan PPh pasal 25 bagi WP Baru, Bank, BUMN, BUMD dan WP tertentu lainnya ditetapkan oleh MenKeu.
a) Sesuai dengan SeKep
MenKeu No. 522/KMK/04/2000 dan diubah menjadi SeKep MenKeu no. 84/ KMK/03/2002
besarnya angsuran PPh Pasal 25 setiap bulan untuk WP baru dihitung sebesar
jumlah pajak yang diperoleh dari penerapan tarif umum atas penghasilan neto
sebulan yang disetahunkan, dibagi 12 (duabelas)
b) Angsuran PPh pasal 25
setiap bulan bagi WP bank atau finansial lease dengan hak opsi adalah
sebesar jumlah pajak penghasilan yang dihitung berdasarkan penerapan tarif umum
atas laba rugi fiskal menurut laporan keuangan triwulan terakhir yang
disetahunkan dikurangi PPh pasal 24 yang dibayar atau terutang diluar negeri
untuk tahun pajak yang lalu dibagi 12
c) Angsuran PPh pasal 25
setiap bulan bagi WP bank atau finansial lease dengan hak opsi yang merupakan
WP barumaka besarnya angsuran PPh pasal 25 untuk triwulan pertama adalah jumlah
pajak yang dihitung berdasarkan penerapan tarif umum atas perkiraan laba rugi
fiskal triwulan pertama yang disetahunkan , dibagi 12
d) Besarnya angsuran Pajak
Penghasilan Pasal 25 bagi Wajib Pajak Pengusaha Tertentu ditetapkan
sebesar 2% dari jumlah peredaran bruto setiap bulan
e) Wajib Pajak Orang
Pribadi Pengusaha Tertentu adalah Wajib Pajak yang melakukan kegiatan usaha di
bidang perdagangan grosir dan atau eceran barang-barang konsumsi melali tempat
usaha/gerai (outlet) yang tersebar di beberapa lokasi, tidak termasuk kendaraan
bermotor dan restoran.
f) Besarnya
angsuran PPh Pasal 25 setiap bulan bagi BUMN/D dengan nama dalam bentuk apapun
kecuali Wajib Pajak Bank dan Wajib Pajak Sewa Guna Usaha dengan hak opsi,
adalah sebesar Pajak Penghasilan yang dihitung berdasarkan penerapan tarif umum
atas laba rugi fiskal menurut Rencana Kerja dan Anggaran Pendapatan (RKAP)
tahun pajak yang bersangkutan yang telah disahkan oleh Rapat Umum Pemegang
saham (RUPS) dikurangi dengan pemotongan dan pemungutan PPh Pasal 25 dan Pasal
24 yang dibayar atau terutang di luar negeri pada tahun pajak yang lalu, dibagi
12 (duabelas)
g) Apabila RKAP belum
disahkan, maka besarnya angsuran PPh Pasal 25 setiap bulan adalah sama dengan
angsuran PPh Pasal 25 bulan terakhir tahun pajak sebelumnya
h) Apabila ada sisa
kerugian yang masih dapat dikompensasikan, maka dasar penghitungan PPh Pasal 25
adalah Pajak Penghasilan yang terutang atas PKP yang dihitung dari penghasilan
neto menurut RKAP setelah dikurangi dengan jumlah sisa kerugian yang belum dikompensasikan
tersebut
Fiskal Luar
Negeri
Pengertian
Yang dimaksud dengan Fiskal Luar Negeri adalah
Pembayaran Pajak Penghasilan bagi orang pribadi yang akan bertolak ke luar
negeri
Masa Berlaku
Peraturan Pemerintah yang mengatur tentang perubahan
tarif Fiskal Luar Negeri mulai berlaku pada tanggal 26 Januari 1998.
Besarnya
Fiskal Luar Negeri adalah sbb:
* Rp.
1.000.000,- bagi setiap orang untuk setiap kali bertolak ke luar negeri dengan
menggunakan pesawat udara
* Rp.
500.000,- bari setiap orang untuk setiap kali bertolak ke luar negeri dengan
menggunakan kapal laut
* Rp
200.000,00 (lima puluh ribu rupiah), untuk setiap kali perjalanan melalui
darat.
Perlakuan
Pembayaran Pajak Penghasilan bagi orang pribadi yang bertolak ke Luar Negeri
sebagai Kredit Pajak
Bagi Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri ,
pembayaran Pajak Penghasilan yang dibayarkan karena bertolak ke Luar Negeri,
merupakan pembayaran pajak penghasilan pasal 25 yang dapat dikreditkan terhadap
Pajak Penghasilan yang terutang dalam SPT Tahunan PPh untuk tahun pajak yang
bersangkutan
Apabila pembayaran pajak Penghasialn yang
karena bertolak ke luar negeri tersebut ditanggung pemberi kerja, maka
pembayaran tersebut merupakan pembayaran Pajak Penghasilan pasal 25 yang dapat
dikreditkan terhadap Pajak Pengasilan yang terutang dalam SPT PPh pemberi
kerja.
Orang
Pribadi yang bertolak ke Luar Negeri yang Tidak Dikenakan Kewajiban membayar
Pajak Penghasilan
1) Anggota Korp
Diplomatik, Pegawai Negara Asing, Staff dari Badan-badan PBB, tenaga ahli dalam
rangka kerja sama teknik, dan staf dari Badan/Organisasi Internasional yang
mendapat persetujuan Pemerintah RI, dengan syarat:
Bukan WNI
Tidak melakukan pekerjaan lain atau kegiatan
usaha di Indonesia selain jabatan resmi
2) Anggota keluarga dan
pembantu rumah tangga yang bukan WNI dari mereka yang disebutkan diatas
3) Pejabat negara,
Anggota TNI/POLRI dan Pegawai Negeri Sipil yang bertolak ke luar negeri dalam
rangka dinas yang menggunakan paspor dinas dan dilengkapi dengan surat tugas
perjalanan ke luar negeri untuk setiap kali keberangkatan
4) Anggota keluarga dari
mereka yang disebutkan pada poin 3 dalam hal keberangkatannya ke luar negeri
dalam rangka penempatan di luar negeri
5) Anggota TNI/POLRI dan
Pegawai Negeri Sipil yang melakukan tugas di bidang keamanan dan pelayanan
pemerintahan di daerah perbatasan yang melaksanakan tugas dinas ke luar negeri
dalam rangka kerja sama dengan negara yang berbatasan
6) Anggota misi
kesenian, misi olah raga dan misi keagamaan yang mewakili Pemerinta RI ke Luar
Negeri dengan persetujuan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata, Menteri Pendidikan
Nasional atau Menteri Agama. Aggota misi kesenian, misi olah raga dan misi
keagamaan yang dibebaskan dari kewajiban membayar pajak Penghasilan pada waktu
bertolak ke luar negeri adalah:
Misi kesenian atau kebudayaan yang bertolak ke
luar negeri tersebut telah mendapat persetujuan dari menteri Kebudayaan dan
Pariwisata
Misi olah raga yang bertolak ke luar negeri
tersebut telah mendapat persetujuan dari Mendiknas
Misi keagamaan yang bertolak ke luar negeri
tersebut telah mendapat persetujuan dari Mendiknas
7) Para pekerja WNI yang
akan bekerja di luar negeri dalam rangka program pengiriman Tenaga Kerja
Indonesia dengan persetujuan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi
8) Penduduk Indonesia
yang melakukan perjalanan lintas batas wilayah RI dengan menggunakan Pas Lintas
Batas sesuai dengan perjanjian lintas batas dengan negara RI
9) Penduduk Indonesia
yang bertempat tinggal tetap di P. Batam yang mempunyai KTP yang diterbitkan
oleh pihak yang berwenang di pulau tersebut, dengan syarat telah dipotong pajak
Penghasilan oleh pemberi penghasilan atau telah terdaftar sebagai Wajib Pajak
dan telah memenuhi kewajiban pajak Penghasilan pada KPP Batam
10) Orang asing yang berada di Indonesia dengan
visa turis, visa transit, visa sosial budaya, visa kunjungan usaha dan tidak
menerima atau memperoleh penghasilan di Indonesia serta berada di Indonesia
tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan
WNI yang bertempat tinggal tetap di luar negeri yang
memiliki tanda pengenal resmi sebagai penduduk negeri tersebut dan tidak
menerima atau memperoleh penghasilan di Indonesia serta berada di Indonesia
tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan. Pembebasan ini hanya
diberikan untuk 4 kali dalam masa satu tahun takwin
1) Tenaga kerja WNA
pendatang yang bekerja di P. Batam, P. Bintan dan P. Karimun, dengan syarat
mereka telah dipotong pajak penghasilan oleh pemberi kerja
2) Orang asing yang
menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia yang tidak bermaksud
menetap di Indonesia serta berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam
jangka waktu 12 bulan, dengan syarat telah dipotong Pajak Penghasilan Pasal 26
oleh pemberi penghasilan
3) Mahasiswa atau
pelajar asing yang berada di Indonesia dalam rangka belajar dengan rekomendasi
dari pimpinan Sekolah atau Perguruan Tinggi yang
bersangkutan dan tidak menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia
4) Tenaga kerja WNA
pendatang yang bekerja di P. Batam, P. Bintan dan P. Karimun, dengan syarat
mereka telah dipotong pajak penghasilan oleh pemberi kerja
1) Orang asing yang
menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia yang tidak bermaksud
menetap di Indonesia serta berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam
jangka waktu 12 bulan, dengan syarat telah dipotong Pajak Penghasilan Pasal 26
oleh pemberi penghasila
2) Orang asing yang
berada di Indonesia dalam rangka melakukan tugas sebagai anggota misi keagamaan
dibawah koordinasi DEPAG dan misi kemanusian dibawah koordinasi DEPSOS
3) Orang asing yang
karena sesuatu hal diperintahkan oleh Pemerinta Indonesia untuk meninggalkan
wilayah Indonesia
4) Awak dari pesawat
terbang dan kapal laut serta kendaraan umum angkutan darat yang beroperasi di
jalur imternasional atau melakukan penerbangan, pelayaran, dan operasi
berdasarkan perjanjian carter pengangkutan
5) Penyandang cacat atau
orang sakit yang akan berobat ke luar negeri atas biaya organisasi sosial
termasuk satu orang pendamping dengan persetujuan MENKES
1) Orang pribadi yang
bertempat tinggal dalam wilayah Kerjasama Ekonomi Sub Regional ASEAN yang
bertolak ke luar negeri dalam daerah kerja sama melalui pelabuhan atau tempat
pemberangkatan luar negeri dalam daerah kerja sama kecuali Bali, yang
ditetapkan oleh MENKEU
2) Anak-anak yang
berangkat ke luar negeri dengan syarat umurnya tidak lebih dari 12 tahun
3) Orang pribadi WNA
yang bekerja di Indonesia untuk kepentingan Kantor Perwakilan Perusahaan Asing,
yang ditetapkan oleh MENKEU
4) Orang pribadi yang
berasal dari bekas propinsi Timor Timur yang berada di Indonesia dalam status
pengungsi, yang telah memutuskan untuk menjadi warga Negara bekas propinsi
Timor Timur dan akan kembali ke Timor Timur, berdasarkan rekomendasi PMI
5) Anggota misi dagang
atau pameran yang mewakili Pemerintan Indonesia ke luar negeri dengan
persetujuan Menteri Perindustrian dan Perdagangan
PAJAK
PENGHASILAN PASAL 26
Pengertian
Pajak
Penghasilan (PPh) Pasal 26 adalah PPh yang dikenakan/dipotong atas penghasilan
yang bersumber dari Indonesia yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak (WP)
luar negeri selain bentuk usaha tetap (BUT) di Indonesia.
Pemotong PPh Pasal 26
- Badan Pemerintah;
- Subjek Pajak dalam negeri;
- Penyelenggara Kegiatan;
- BUT;
- Perwakilan perusahaan luar negeri lainnya selain BUT di Indonesia.
Tarif dan Objek PPh Pasal 26
- 20% (final) dari jumlah penghasilan bruto yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Luar Negeri berupa :
- dividen;
- bunga, premium, diskonto, premi swap, dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian hutang;
- royalti, sewa, dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
- imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan;
- hadiah dan penghargaan
- pensiun dan pembayaran berkala lainnya.
- 20% (final) dari perkiraan penghasilan neto berupa :
- penghasilan dari penjualan harta di Indonesia;
- premi asuransi, premi reasuransi yang dibayarkan langsung maupun melalui pialang kepada perusahaan asuransi di luar negeri.
- 20%
(final) dari Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi pajak dari suatu BUT
di Indonesia, kecuali penghasilan tersebut ditanamkan
kembali di Indonesia. - Tarif berdasarkan Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) antara Indonesia dengan negara pihak pada persetujuan.
Saat Terutang, Cara Pemotongan,
Penyetoran, dan SPT Masa PPh Pasal 26
- PPh
pasal 26 terutang pada akhir bulan dilakukannya pembayaran atau akhir
bulan terutangnya penghasilan, tergantung yang mana terjadi lebih
dahulu. - Pemotong PPh pasal 26 wajib membuat bukti pemotongan PPh pasal 26 rangkap 3 :
- lembar pertama untuk Wajib Pajak luar negeri;
- lembar kedua untuk Kantor Pelayanan Pajak;
- lembar ketiga untuk arsip Pemotong.
- PPh pasal 26 wajib disetorkan ke bank Persepsi atau Kantor Pos dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP), paling lambat tanggal 10 bulan takwim berikutnya setelah bulan saat terutangnya pajak.
- SPT Masa PPh Pasal 26, dengan dilampiri SSP lembar kedua, bukti pemotongan lembar kedua dan daftar bukti pemotongan disampaikan
- ke KPP
setempat paling lambat 20 hari setelah Masa Pajak berakhir.
Contoh :
Pemotongan
PPh Pasal 26 dilakukan tanggal 24 Mei 2001, penyetoran paling lambat tanggal 10
Juni 2001; dan dilaporkan ke Kantor Pelayanan
Pajak paling lambat tanggal 20 Juni 2001.
Pajak paling lambat tanggal 20 Juni 2001.
Pengecualian
- BUT
dikecualikan dari pemotongan PPh Pasal 26 apabila Penghasilan Kena Pajak
sesudah dikurangi Pajak Penghasilan dari BUT ditanamkan
kembali di Indonesia dengan syarat: - dilakukan dalam bentuk penyertaan modal pada perusahaan yang didirikan dan berkedudukan di Indonesia sebagai pendiri atau peserta pendiri, dan;
- dilakukan
dalam tahun berjalan atau selambat-lambatnya tahun pajak berikutnya dari
tahun pajak diterima atau diperoleh penghasilan
tersebut; - tidak
melakukan pengalihan atas penanaman kembali tersebut sekurang-kurangnya
dalam waktu 2 (dua) tahun sesudah perusahaan
tempat penanaman dilakukan, mulai berproduksi komersil. - Badan-badan Internasional yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
info yang bagus
BalasHapusterima kasih untuk infonya, kunjungan balik ya ke blog saya www.goocap.com
BalasHapus